Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan di
Asia Tenggara yang memiliki 13.487 pulau besar dan kecil, sekitar 6.000 di
antaranya tidak berpenghuni, yang menyebar disekitar khatulistiwa, yang
memberikan cuaca tropis. Posisi Indonesia terletak pada koordinat 6°LU -
11°08'LS dan dari 95°'BT - 141°45'BT serta terletak di antara
dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia atau Oseania.
Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung
dengan negara-negara Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sedangkan
wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia,
Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste
dan Papua Nugini. Wilayah perbatasan laut pada umumnya berupa pulau-pulau
terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil.
Sebelah utara Indonesia berbatasan dengan Malaysia yang
berupa daratan di Pulau Kalimantan, tepatnya di Kalimantan Barat dan Timur.
Selain batas darat, juga berbatasan laut dengan negara Singapura, Malaysia,
Filipina. Di sebelah timur, berbatasan darat dan laut dengan Papua Nugini
di Pulau Irian Jaya. Sebelah selatan berbatasan darat dengan Timor Leste di
Nusa Tenggara Timur dan berbatasan laut dengan Australia di Samudra Hindia. Di
sebelah barat berbatasan dengan Samudra Hindia. Masalah perbatasan wilayah
Indonesia bukan lagi menjadi hal baru saat ini. Sejak Indonesia menjadi negara
yang berdaulat, perbatasan sudah menjadi masalah yang bahkan belum menemukan
titik terang sampai saat ini. Permasalahan perbatasan tersebut tidak hanya
menyangkut batas fisik yang telah disepakati namun juga menyangkut cara hidup
masyarakat di daerah tersebut, misalnya para nelayan tradisional atau kegiatan
lain di sekitar wilayah perbatasan.
Ada
10 negara tetangga yang perairannya berbatasan langsung dengan wilayah
Nusantara. Mereka adalah Malaysia, Singapura, Thailand, India, Filipina,
Vietnam, Papua New Guinea, Australia, Republik Palau dan TimorLeste.
1.
Perbatasan
Indonesia-Malaysia
Secara administratif, kawasan perbatasan darat
Indonesia-Malaysia meliputi 2 (dua) provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Barat
dan Kalimantan Timur, dan terdiri dari 8 (delapan) Kabupaten, yaitu Kabupaten
Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Malinau,
Nunukan, dan Kutai Barat (Kalimantan Timur).
Garis
perbatasan darat di Pulau Kalimantan yang berbatasan dengan negara bagian Sabah
dan Sarawak Malaysia secara keseluruhan memiliki panjang 1.885,3 km. Jumlah
pilar batas yang ada hingga tahun 2007 secara keseluruhan berjumlah 9.685 buah,
terdiri dari pilar batas tipe A sebanyak 4 unit, tipe B sebanyak 18 unit, tipe
C sebanyak 225 unit dan tipe D sebanyak 9438 unit. Kondisi tugu batas pada
umumnya masih memprihatinkan dan jumlahnya masih kurang dibandingkan dengan
panjang garuis perbatasan yang ada.
Berdasarkan
perjanjian Lintas Batas antara Indonesia dan Malaysia tahun 2006, secara
keseluruhan telah disepakati sebanyak 18 pintu batas (exit and entry point)
di kawasan ini. Hingga tahun 2007, baru terdapat 2 (dua) pintu batas resmi
yaitu di Entikong, kabupaten Sanggau dan Nanga Badau (Kabupaten Kapuas Hulu).
Adanya keterikatan kekeluargaan dan suku antara masyarakat Indonesia dan
Malaysia di kawasan ini menyebabkan terjadinya arus orang dan perdagangan
barang yang bersifat tradisional melalui pintu-pintu perbatasan yang belum
resmi.
Dari sisi keamanan, kawasan ini didukung oleh 26 pos pengamanan
perbatasan (Pos Pamtas) yang diisi oleh aparat militer. Sarana prasarana
keamanan dalam jumlah dan kualitas yang memadai sangat diperlukan, karena
kawasan ini dicirikan oleh tingginya kegiatan-kegiatan ilegal sekitar di garis
perbatasan, dalam bentuk pembalakan liar, penyelundupan barang, tenaga kerja
ilegal, dan sebagainya.
Potensi
sumberdaya alam wilayah perbatasan di Kalimantan cukup besar dan bernilai
ekonomi sangat tinggi, terdiri dari hutan produksi (konversi), hutan lindung,
taman nasional, dan danau alam, yang semuanya dapat dikembangkan menjadi daerah
wisata alam (ekowisata). Beberapa areal hutan tertentu yang telah dikonversi
tersebut telah berubah fungsi menjadi kawasan perkebunan yang dilakukan oleh
beberapa perusahaan swasta nasional maupun yang bekerjasama dengan perkebunan
asing yang umumnya berasal Malaysia. Namun demikian secara umum infrastruktur
sosial ekonomi di kawasan ini, baik dalam aspek pendidikan, kesehatan, maupun
sarana prasarana penunjang wilayah, masih memerlukan banyak peningkatan. Jika
dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, kawasan ini masih relatif
tertinggal pembangunannya.
2.
Perbatasan
Indonesia-Papua New Guinea
Sebelum mengalami pemekaran kabupaten,
kawasan perbatasan di Papua terletak di 4 (empat) kabupaten yaitu Kota
Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Merauke.
Setelah adanya pemekaran wilayah kabupaten, maka kawasan perbatasan di Papua
terletak di 5 (lima) wilayah kabupaten/kota yaitu Kota Jayapura, Kabupaten
Keerom, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten
Merauke, serta 23 (dua puluh tiga) wilayah kecamatan (distrik). Dari kelima kabupaten tersebut, Kabupaten Keerom, Pegunungan
Bintang dan Boven Digoel merupakan kabupaten baru hasil pemekaran.
Garis perbatasan darat antara Indonesia dan PNG di Papua
memanjang sekitar 760 kilometer dari Skouw, Jayapura di sebelah utara
sampai muara sungai Bensbach, Merauke di sebelah Selatan. Garis batas ini
ditetapkan melalui perjanjian antara Pemerintah Belanda dan Inggris pada pada
tanggal 16 Mei 1895. Jumlah pilar batas di kawasan perbatasan Papua hingga
saat ini masih sangat terbatas, yaitu hanya 52 buah. Jumlah pilar batas ini
tentu sangat tidak memadai untuk suatu kawasan perbatasan yang sering dijadikan
tempat persembunyian dan penyeberangan secara gelap oleh kelompok separatis
kedua negara. Kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidaktahuan masyarakat di
sekitar perbatasan terhadap garis batas yang memisahkan kedua negara, bahkan
diantara penduduk tersebut banyak yang belum memiliki tanda pengenal atau
identitas diri seperti kartu tanda penduduk atau tanda pengenal lainnya.
Pintu atau pos perbatasan di kawasan perbatasan Papua
terdapat di Distrik Muara Tami Kota Jayapura dan di Distrik Sota Kabupaten
Merauke. Kondisi pintu perbatasan di Kota Jayapura masih belum dimanfaatkan
secara optimal sebagaimana pintu perbatasan di Sanggau dan Nunukan, karena
fasilitas CIQS-nya belum lengkap tersedia. Pada umumnya aktifitas pelintas
batas masih berupa pelintas batas tradisional seperti yang dilakukan oleh
kerabat dekat atau saudara dari Papua ke PNG dan sebaliknya, sedangkan kegiatan
ekonomi seperti perdagangan komoditas antara kedua negara melalui pintu batas
di Jayapura masih sangat terbatas pada perdagangan barang-barang kebutuhan
sehari-hari dan alat-alat rumah tangga yang tersedia di Jayapura.
Kegiatan pelintas batas di pintu perbatasan di Marauke relatif lebih terbatas
dibanding dengan Jayapura, dengan kegiatan utama arus lintas batas masyarakat
kedua negara dalam rangka kunjungan keluarga dan perdagangan tradisional.
Kegiatan perdagangan yang relatif lebih besar justru terjadi dipintu-pintu
masuk tidak resmi yang menghubungkan masyarakat kedua negara secara ilegal
tanpa adanya pos lintas batas atau pos keamanan resmi.
Kawasan perbatasan Papua memiliki sumberdaya alam yang
sangat besar berupa hutan, baik hutan konversi maupun hutan lindung dan taman
nasional yang ada di sepanjang perbatasan. Kondisi hutan yang terbentang di
sepanjang perbatasan tersebut hampir seluruhnya masih belum tersentuh atau
dieksploitasi kecuali di beberapa lokasi yang telah dikembangkan sebagai hutan
konversi. Selain sumberdaya hutan, kawasan ini juga memiliki potensi sumberdaya
air yang cukup besar dari sungai-sungai yang mengalir di sepanjang perbatasan. Demikian
pula kandungan mineral dan logam yang berada di dalam tanah yang belum
dikembangkan seperti tembaga, emas, dan jenis logam lainnya yang bernilai
ekonomi cukup tinggi. Secara fisik kondisi kawasan perbatasan di Papua
bergunung dan berbukit yang sulit ditembus dengan sarana perhubungan biasa atau
kendaraan roda empat. Sarana perhubungan yang memungkinkan untuk mencapai
kawasan perbatasan adalah pesawat terbang perintis dan pesawat helikopter yang
sewaktu-waktu digunakan oleh pejabat dan aparat pemerintah pusat dan daerah
untuk mengunjungi kawasan tersebut Sebagaimana di daerah lainnya kondisi
masyarakat di sepanjang kawasan perbatasan Papua sebagian besar masih miskin,
tingkat kesejahteraan rendah, tertinggal serta kurang mendapat perhatian dari
aparat pemerintah daerah maupun pusat. Kondisi masyarakat Papua di
sepanjang perbatasan yang miskin, tertinggal dan terisolir ini tidak jauh
berbeda dan relatif setara dengan masyarakat di PNG. Melalui bantuan sosial
yang banyak dilakukan oleh para misionaris yang beroperasi dalam rangka
pelayanan kerohanian menggunakan pesawat milik gereja, banyak masyarakat yang
tertolong dan dibantu dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Fasilitas
perhubungan milik misionaris ini bahkan dimanfaatkan oleh para pejabat daerah
dalam melakukan kunjungan kerjanya di kawasan perbatasan.
3.
Perbatasan
Indonesia-Timur Leste
Kawasan perbatasan antarnegara dengan Timor Leste di NTT
merupakan kawasan perbatasan antarnegara yang terbaru mengingat Timor Leste merupakan
negara yang baru terbentuk dan sebelumnya adalah salah satu Provinsi di
Indonesia. Perbatasan
antarnegara di NTT terletak di 3 (tiga) kabupaten yaitu Belu, Kupang, dan Timor
Leste Utara (TTU). Perbatasan antarnegara di Belu terletak memanjang dari
utara ke selatan bagian pulau Timor, sedangkan Kabupaten Kupang dan TTU
berbatasan dengan salah satu wilayah Timor Leste, yaitu Oekussi, yang terpisah
dan berada di tengah wilayah Indonesia (enclave). Garis batas
antarnegara di NTT ini terletak di 9 (sembilan) kecamatan, yaitu 1 (satu)
kecamatan di Kabupaten Kupang, 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten TTU, dan 5
(lima) kecamatan di Kabupaten Belu.
Pintu perbatasan di NTT terdapat di
beberapa kecamatan yang berada di tiga kabupaten tersebut, namun pintu perbatasan
yang relatif lengkap dan sering digunakan sebagai akses lintas batas adalah di
Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu. Fasilitas perbatasan yang ada seperti
CIQS, sudah cukup lengkap walaupun masih darurat, seperti kantor kantor bea
cukai yang belum dilengkapi dengan alat detektor/scan bagi barang yang
masuk dan keluar NTT, kantor imigrasi yang masih sangat sederhana, karantina
hewan dan tumbuhan, serta pos keamanan yang juga masih sederhana.
Prasarana pasar di perbatasan yang
terletak di dekat pintu perbatasan rusak berat akibat perusakan oleh sekelompok
orang dalam insiden yang terjadi pada tahun 2003, sehingga dipindahkan ke
tempat lain dan saat ini masih dalam kondisi darurat, sedangkan sarana dan
prasarana lain seperti sekolah dan pusat kesehatan masyarakat telah tersedia
walau dalam kondisi yang belum baik. Fasilitas-fasilitas sosial yang telah ada dibangun oleh
pemerintah pusat dan daerah untuk kebutuhan para pengungsi. Sarana dan
prasarana perhubungan darat maupun laut ke pintu perbatasan Timor Leste cukup
baik, sehingga akses kedua pihak untuk saling berkunjung relatif mudah dan
cepat. Kondisi jalan dari Atambua, ibukota Belu, menuju pintu perbatasan cukup
baik kualitasnya, sehingga perjalanan dapat ditempuh dalam waktu satu setengah
jam. Hal ini dapat
dimengerti karena kedua daerah NTT dan Timor Leste sebelumnya merupakan dua
Provinsi yang bertetangga, sedangkan hubungan udara telah dipenuhi oleh maskapai
penerbangan Merpati yang memiliki penerbangan regular dari Bali ke Dili.
Kegiatan perdagangan lintas batas yang terjadi sebagian
besar adalah perdagangan kebutuhan alat-alat rumah tangga dan bahan
makanan lainnya yang tersedia di kawasan perdagangan atau di Atambua, ibukota
kabupaten Belu. Kegiatan lintas batas lainnya adalah kunjungan kekerabatan
antar keluarga karena banyaknya masyarakat eks pengungsi Timor Leste yang masih
tinggal di wilayah Atambua, sedangkan warga Indonesia lainnya yang berkunjung
ke Timor Leste adalah dalam rangka melakukan kegiatan perdagangan bahan makanan
dan komoditi lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat Timor Leste. Kegiatan
lintas batas yang sering terjadi adalah lintas batas tradisional melalui jalan
masuk yang dahulu pernah digunakan sebagai jalan biasa sewaktu Timor Leste
masih menjadi salah satu Provinsi Indonesia, seperti yang ada di perbatasan
antara Kabupaten TTU (Provinsi NTT) dan Oekussi (Timor Leste). Untuk
memfasilitasi warganya di Oekussi mengunjungi wilayah Timor Leste lainnya,
Pemerintah Timor Leste mengusulkan adanya ijin bagi warga Oekussi untuk
menggunakan prasarana jalan dari Oekussi ke wilayah utama Timor Leste.
Namun usulan ini masih belum ditanggapi oleh pihak Republik Indonesia
Potensi sumberdaya alam yang tersedia di kawasan perbatasan
NTT pada umumnya tidak terlalu besar, mengingat kondisi lahan di sepanjang
perbatasan tergolong kurang baik bagi pengembangan pertanian, sedangkan hutan
di sepanjang perbatasan bukan merupakan hutan produksi atau konversi serta
hutan lindung atau taman nasional yang perlu dilindungi.
Kondisi
masyarakat di sepanjang perbatasan umumnya miskin dengan tingkat kesejahteraan
yang rendah dan tinggal di wilayah terisolir. Sumber mata pencaharian utama
masyarakat di kawasan perbatasan adalah kegiatan pertanian lahan kering yang
sangat tergantung pada hujan. Kondisi masyarakat di wilayah Indonesia ini saat
ini pada umumnya bahkan masih relatif lebih baik dari masyarakat Timor Leste
yang tinggal di sekitar perbatasan. Dengan demikian, kawasan perbatasan di NTT
khususnya di lima kecamatan yang berbatasan langsung dengan Timor Leste maupun
daerah NTT secara keseluruhan perlu diperhatikan secara khusus karena
dikhawatirkan akan terjadi kesenjangan yang cukup tajam antara masyarakat NTT
di perbatasan dengan masyarakat Timor Leste, khususnya penduduk Belu yang sebagian
besar masih miskin.
4.
Perbatasan
Indonesia-Singapura
Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan
Singapura telah dilaksanakan mulai tahun 1973 yang menetapkan 6 titik koordinat
sebagai batas kedua negara. Perjanjian tersebut kemudian diratifikasi dengan
Undang-undang Nomor 7 tahun 1973.
Permasalahan yang muncul adalah belum adanya perjanjian
batas laut teritorial bagian timur dan barat di Selat Singapura. Hal ini akan
menimbulkan kerawanan, karena Singapura melakukan kegiatan reklamasi wilayah
daratannya. Reklamasi tersebut mengakibatkan wilayah Si-ngapura bertambah ke
selatan atau ke Wilayah Indonesia. Penentuan batas maritim di sebelah Barat dan
Timur Selat Singapura memerlukan perjanjian tiga negara antara Indonesia,
Singapura dan Malaysia. Perundingan perbatasan kedua negara pada Segmen Timur,
terakhir dilaksanakan pada 8-9 Februari 2012 di Bali (perundingan ke-2).
Penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau
yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan Sinagpura, telah berlangsung
sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari
dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain
itu mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut,
terganggu oleh akibat penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem yang
diakibatkan oleh penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata
pencaharian para nelayan.
Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di kemudian hari.
Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di kemudian hari.
5.
Perbatasan
Indonesia-Vietnam
Perbatasan Indonesia – Vietnam di Laut China Selatan telah
dicapai kesepakatan, terutama batas landas kontinen pada tanggal 26 Juni 2002.
Akan tetapi perjanjian perbatasan tersebut belum diratifikasi oleh Indonesia.
Selanjutnya Indonesia dan Vietnam perlu membuat perjanjian perbatasan ZEE di
Laut China Selatan. Perundingan perbatasan kedua negara terakhir dilaksanakan
pada 25-28 Juli 2011 di Hanoi (perundingan ke-3).
Wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna
dan Pulau Condore di Vietnam yang berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki
kontur landas kontinen tanpa batas benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman
di antara ke dua negara. Pada saat ini kedua belah pihak sedang melanjutkan
perundingan guna menentukan batas landas kontinen di kawasan tersebut.
6.
Perbatasan
Indonesia-Philipina
Perundingan RI – Philipina sudah berlangsung 6 kali yang
dilaksanakan secara bergantian setiap 3 – 4 bulan sekali. Dalam
perundingan di Manado tahun 2004, Philipina sudah tidak mempermasalahkan lagi
status Pulau Miangas, dan sepenuhnya mengakui sebagai milik Indonesia.
Hasil perundingan terakhir penentuan garis batas maritim Indonesia-Philipina dilakukan pada bulan Desember 2005 di Batam. Indonesia menggunakan metode proportionality dengan memperhitungkan lenght of coastline/ baseline kedua negara, sedangkan Philipina memakai metode median line. Untuk itu dalam perundingan yang akan datang kedua negara sepakat membentuk Technical Sub-Working Groupuntuk membicarakan secara teknis opsi-opsi yang akan diambil.
Hasil perundingan terakhir penentuan garis batas maritim Indonesia-Philipina dilakukan pada bulan Desember 2005 di Batam. Indonesia menggunakan metode proportionality dengan memperhitungkan lenght of coastline/ baseline kedua negara, sedangkan Philipina memakai metode median line. Untuk itu dalam perundingan yang akan datang kedua negara sepakat membentuk Technical Sub-Working Groupuntuk membicarakan secara teknis opsi-opsi yang akan diambil.
Belum adanya kesepakatan tentang batas maritim antara
Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, menjadi
salah satu isu yang harus dicermati. Forum RI-Filipina yakni Joint Border
Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang
memiliki agenda sidang secara berkala, dapat dioptimalkan menjembatani
permasalahan perbatasan kedua negara secara bilateral.
7.
Perbatasan
Indonesia-Palau
Perbatasan Indonesia dengan Palau terletak
di sebelah utara Papua. Palau telah menerbitkan peta yang menggambarkan rencana
batas “Zona Perikanan/ZEE” yang diduga melampaui batas yurisdiksi wilayah
Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya nelayan Indonesia yang melanggar
wilayah perikanan Palau. Permasalahan ini timbul karena jarak antara Palau
dengan Wilayah Indonesia kurang dari 400 mil sehingga ada daerah yang overlapping untuk ZEE dan Landas Kontinen. Perundingan perbatasan
kedua negara terakhir dilaksanakan pada 29 Februari - 1 Maret 2012 di Manila
(perundingan ke-3).
8.
Perbatasan Indonesia-Australia
Perjanjian Batas Landas Kontinen antara Indonesia-Australia
yang dibuat pada 9 Oktober 1972 tidak mencakup gap sepanjang 130 mil di selatan
Timor Leste. Perbatasan Landas Kontinen dan ZEE yang lain, yaitu menyangkut
Pulau Ashmore dan Cartier serta Pulau Christmas telah disepakati dan telah
ditandatangani oleh kedua negara pada tanggal 14 Maret 1997, sehingga praktis
tidak ada masalah lagi. Mengenai batas maritim antara Indonesia – Australia
telah dicapai kesepakatan yang ditandatangani pada 1969, 1972 dan terakhir
1997.
Perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian
batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada
Perjanjian RI-Australia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997.
Penentuan batas yang baru RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor perlu
dibicarakan secara trilateral bersama Timor Leste
9.
Perbatasan Indonesia-Thailand
Indonesia dan Thailand telah mengadakan perjanjian landas
kontinen di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971, perjanjian tersebut telah
diratifikasi dengan Keppres Nomor 21 Tahun 1972. Perjanjian perbatasan tersebut
merupakan batas landas kontinen di Utara Selat Malaka dan Laut Andaman. Selain
itu juga telah dilaksanakan perjanjian batas landas kontinen antara tiga negara
yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia yang diadakan di Kuala Lumpur pada
tanggal 21 Desember 1971. Perjanjian ini telah diratifikasi dengan Keppres
Nomor 20 Tahun 1972.
Perbatasan antara Indonesia dengan Thailand yang belum diselesaikan khususnya adalah perjanjian ZEE.
Perbatasan antara Indonesia dengan Thailand yang belum diselesaikan khususnya adalah perjanjian ZEE.
Ditinjau dari segi geografis, kemungkinan timbulnya masalah
perbatasan antara RI dengan Thailand tidak begitu kompleks, karena jarak antara
ujung pulau Sumatera dengan Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki
perjanjian Landas Kontinen yang terletak di dua titik koordinat tertentu di
kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut Andaman. Penangkapan ikan
oleh nelayan Thailand yang mencapai wilayah perairan Indonesia, merupakan
masalah keamanan di laut. Di samping itu, penangkapan ikan oleh nelayan asing
merupakan masalah sosio-ekonomi karena keberadaan masyarakat pantai Indonesia.
10. Perbatasan Indonesia-India
Indonesia dan India telah mengadakan
perjanjian batas landas kontinen di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1974 dan
telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 51 Tahun 1974 yang meliputi perbatasan
antara Pulau Sumatera dengan Nicobar.
Selanjutnya dilakukan perjanjian perpanjangan batas landas kontinen di New Dehli pada tanggal 14 Januari 1977 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 26 Tahun 1977 yang meliputi Laut Andaman dan Samudera Hindia.
Perbatasan tiga negara, Indonesia-India- Thailand juga telah diselesaikan, terutama batas landas kontinen di daerah barat laut sekitar Pulau Nicobar dan Andaman. Perjanjian dilaksankaan di New Delhi pada tanggal 22 Juni 1978 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 25 Tahun 1978. Namun demikian kedua negara belum membuat perjanjian perbatasan ZEE.
Selanjutnya dilakukan perjanjian perpanjangan batas landas kontinen di New Dehli pada tanggal 14 Januari 1977 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 26 Tahun 1977 yang meliputi Laut Andaman dan Samudera Hindia.
Perbatasan tiga negara, Indonesia-India- Thailand juga telah diselesaikan, terutama batas landas kontinen di daerah barat laut sekitar Pulau Nicobar dan Andaman. Perjanjian dilaksankaan di New Delhi pada tanggal 22 Juni 1978 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 25 Tahun 1978. Namun demikian kedua negara belum membuat perjanjian perbatasan ZEE.
sumber:
http://batamtoday.com/berita47259-Batas-Perairan-Batam-dan-Bagian-Timur-Selat-Singapura-Sepanjang-5,1-Mil-Laut.html