Jumat, 22 April 2016

Perbatasan Wilayah Negara Indonesia Dengan Negara Tetangga



Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki 13.487 pulau besar dan kecil, sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni, yang menyebar disekitar khatulistiwa, yang memberikan cuaca tropis. Posisi Indonesia terletak pada koordinat 6°LU - 11°08'LS dan dari 95°'BT - 141°45'BT serta terletak di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia atau Oseania.
Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini. Wilayah perbatasan laut pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil.
Sebelah utara Indonesia berbatasan dengan Malaysia yang berupa daratan di Pulau Kalimantan, tepatnya di Kalimantan Barat dan Timur. Selain batas darat, juga berbatasan laut dengan negara Singapura, Malaysia, Filipina. Di sebelah timur, berbatasan darat dan laut dengan Papua Nugini di Pulau Irian Jaya. Sebelah selatan berbatasan darat dengan Timor Leste di Nusa Tenggara Timur dan berbatasan laut dengan Australia di Samudra Hindia. Di sebelah barat berbatasan dengan Samudra Hindia. Masalah perbatasan wilayah Indonesia bukan lagi menjadi hal baru saat ini. Sejak Indonesia menjadi negara yang berdaulat, perbatasan sudah menjadi masalah yang bahkan belum menemukan titik terang sampai saat ini. Permasalahan perbatasan tersebut tidak hanya menyangkut batas fisik yang telah disepakati namun juga menyangkut cara hidup masyarakat di daerah tersebut, misalnya para nelayan tradisional atau kegiatan lain di sekitar wilayah perbatasan.
Ada 10 negara tetangga yang perairannya berbatasan langsung dengan wilayah Nusantara. Mereka adalah Malaysia, Singapura, Thailand, India, Filipina, Vietnam, Papua New Guinea, Australia, Republik Palau dan TimorLeste.



1.      Perbatasan Indonesia-Malaysia
Secara administratif, kawasan perbatasan darat Indonesia-Malaysia meliputi 2 (dua) provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, dan terdiri dari 8 (delapan) Kabupaten, yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Malinau, Nunukan, dan Kutai Barat (Kalimantan Timur).
Garis perbatasan darat di Pulau Kalimantan yang berbatasan dengan negara bagian Sabah dan Sarawak Malaysia secara keseluruhan memiliki panjang 1.885,3 km. Jumlah pilar batas yang ada hingga tahun 2007 secara keseluruhan berjumlah 9.685 buah, terdiri dari pilar batas tipe A sebanyak 4 unit, tipe B sebanyak 18 unit, tipe C sebanyak 225 unit dan tipe D sebanyak 9438 unit. Kondisi tugu batas pada umumnya masih memprihatinkan dan jumlahnya masih kurang dibandingkan dengan panjang garuis perbatasan yang ada.
Berdasarkan perjanjian Lintas Batas antara Indonesia dan Malaysia tahun 2006, secara keseluruhan telah disepakati sebanyak 18 pintu batas (exit and entry point) di kawasan ini. Hingga tahun 2007, baru terdapat 2 (dua) pintu batas resmi yaitu di Entikong, kabupaten Sanggau dan Nanga Badau (Kabupaten Kapuas Hulu). Adanya keterikatan kekeluargaan dan suku antara masyarakat Indonesia dan Malaysia di kawasan ini menyebabkan terjadinya arus orang dan perdagangan barang yang bersifat tradisional melalui pintu-pintu perbatasan yang belum resmi.
Dari sisi keamanan, kawasan ini didukung oleh 26 pos pengamanan perbatasan (Pos Pamtas) yang diisi oleh aparat militer. Sarana prasarana keamanan dalam jumlah dan kualitas yang memadai sangat diperlukan, karena kawasan ini dicirikan oleh tingginya kegiatan-kegiatan ilegal sekitar di garis perbatasan, dalam bentuk pembalakan liar, penyelundupan barang, tenaga kerja ilegal, dan sebagainya.
Potensi sumberdaya alam wilayah perbatasan di Kalimantan cukup besar dan bernilai ekonomi sangat tinggi, terdiri dari hutan produksi (konversi), hutan lindung, taman nasional, dan danau alam, yang semuanya dapat dikembangkan menjadi daerah wisata alam (ekowisata). Beberapa areal hutan tertentu yang telah dikonversi tersebut telah berubah fungsi menjadi kawasan perkebunan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan swasta nasional maupun yang bekerjasama dengan perkebunan asing yang umumnya berasal Malaysia. Namun demikian secara umum infrastruktur sosial ekonomi di kawasan ini, baik dalam aspek pendidikan, kesehatan, maupun sarana prasarana penunjang wilayah, masih memerlukan banyak peningkatan. Jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, kawasan ini masih relatif tertinggal pembangunannya.

           


2.      Perbatasan Indonesia-Papua New Guinea
Sebelum mengalami pemekaran kabupaten, kawasan perbatasan di Papua terletak di 4 (empat) kabupaten yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Merauke. Setelah adanya pemekaran wilayah kabupaten, maka kawasan perbatasan di Papua terletak di 5 (lima) wilayah kabupaten/kota yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Merauke, serta 23 (dua puluh tiga) wilayah kecamatan (distrik). Dari kelima kabupaten tersebut, Kabupaten Keerom, Pegunungan Bintang dan Boven Digoel merupakan kabupaten baru hasil pemekaran. 
Garis perbatasan darat antara Indonesia dan PNG di Papua memanjang sekitar 760 kilometer dari Skouw, Jayapura  di sebelah utara sampai muara sungai Bensbach, Merauke di sebelah Selatan. Garis batas ini ditetapkan melalui perjanjian antara Pemerintah Belanda dan Inggris pada pada tanggal 16 Mei 1895. Jumlah pilar batas di kawasan perbatasan Papua hingga saat ini masih sangat terbatas, yaitu hanya 52 buah. Jumlah pilar batas ini tentu sangat tidak memadai untuk suatu kawasan perbatasan yang sering dijadikan tempat persembunyian dan penyeberangan secara gelap oleh kelompok separatis kedua negara. Kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidaktahuan masyarakat di sekitar perbatasan terhadap garis batas yang memisahkan kedua negara, bahkan diantara penduduk tersebut banyak yang belum memiliki tanda pengenal atau identitas diri seperti kartu tanda penduduk atau tanda pengenal lainnya.
Pintu atau pos perbatasan di kawasan perbatasan Papua terdapat di Distrik Muara Tami Kota Jayapura dan di Distrik Sota Kabupaten Merauke. Kondisi pintu perbatasan di Kota Jayapura masih belum dimanfaatkan secara optimal sebagaimana pintu perbatasan di Sanggau dan Nunukan, karena fasilitas CIQS-nya belum lengkap tersedia. Pada umumnya aktifitas pelintas batas masih berupa pelintas batas tradisional seperti yang dilakukan oleh kerabat dekat atau saudara dari Papua ke PNG dan sebaliknya, sedangkan kegiatan ekonomi seperti perdagangan komoditas antara kedua negara melalui pintu batas di Jayapura masih sangat terbatas pada perdagangan barang-barang kebutuhan sehari-hari dan alat-alat rumah tangga  yang tersedia di Jayapura. Kegiatan pelintas batas di pintu perbatasan di Marauke relatif lebih terbatas dibanding dengan Jayapura, dengan kegiatan utama arus lintas batas masyarakat kedua negara dalam rangka kunjungan keluarga dan perdagangan tradisional. Kegiatan perdagangan yang relatif lebih besar justru terjadi dipintu-pintu masuk tidak resmi yang menghubungkan masyarakat kedua negara secara ilegal tanpa adanya pos lintas batas atau pos keamanan resmi.
Kawasan perbatasan Papua memiliki sumberdaya alam yang sangat besar berupa hutan, baik hutan konversi maupun hutan lindung dan taman nasional yang ada di sepanjang perbatasan. Kondisi hutan yang terbentang di sepanjang perbatasan tersebut hampir seluruhnya masih belum tersentuh atau dieksploitasi kecuali di beberapa lokasi yang telah dikembangkan sebagai hutan konversi. Selain sumberdaya hutan, kawasan ini juga memiliki potensi sumberdaya air yang cukup besar dari sungai-sungai yang mengalir di sepanjang perbatasan. Demikian pula kandungan mineral dan logam yang berada di dalam tanah yang belum dikembangkan seperti tembaga, emas, dan jenis logam lainnya yang bernilai ekonomi cukup tinggi.  Secara fisik kondisi kawasan perbatasan di Papua bergunung dan berbukit yang sulit ditembus dengan sarana perhubungan biasa atau kendaraan roda empat. Sarana perhubungan yang memungkinkan untuk mencapai kawasan perbatasan adalah pesawat terbang perintis dan pesawat helikopter yang sewaktu-waktu digunakan oleh pejabat dan aparat pemerintah pusat dan daerah untuk mengunjungi kawasan tersebut Sebagaimana di daerah lainnya kondisi masyarakat di sepanjang kawasan perbatasan Papua sebagian besar masih miskin, tingkat kesejahteraan rendah, tertinggal serta kurang mendapat perhatian dari aparat pemerintah daerah maupun pusat.  Kondisi masyarakat Papua di sepanjang perbatasan yang miskin, tertinggal dan terisolir ini tidak jauh berbeda dan relatif setara dengan masyarakat di PNG. Melalui bantuan sosial yang banyak dilakukan oleh para misionaris yang beroperasi dalam rangka pelayanan kerohanian menggunakan pesawat milik gereja, banyak masyarakat yang tertolong dan dibantu dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Fasilitas perhubungan milik misionaris ini bahkan dimanfaatkan oleh para pejabat daerah dalam melakukan kunjungan kerjanya di kawasan perbatasan.



3.      Perbatasan Indonesia-Timur Leste
Kawasan perbatasan antarnegara dengan Timor Leste di NTT merupakan kawasan perbatasan antarnegara yang terbaru mengingat Timor Leste merupakan negara yang baru terbentuk dan sebelumnya adalah salah satu Provinsi di Indonesia. Perbatasan antarnegara di NTT terletak di 3 (tiga) kabupaten yaitu Belu, Kupang, dan Timor Leste Utara (TTU).  Perbatasan antarnegara di Belu terletak memanjang dari utara ke selatan bagian pulau Timor, sedangkan Kabupaten Kupang dan TTU berbatasan dengan salah satu wilayah Timor Leste, yaitu Oekussi, yang terpisah dan berada di tengah wilayah Indonesia (enclave).  Garis batas antarnegara di NTT ini terletak di 9 (sembilan) kecamatan, yaitu 1 (satu) kecamatan di Kabupaten Kupang, 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten TTU, dan 5 (lima) kecamatan di Kabupaten Belu. 
Pintu perbatasan di NTT terdapat di beberapa kecamatan yang berada di tiga kabupaten tersebut, namun pintu perbatasan yang relatif lengkap dan sering digunakan sebagai akses lintas batas adalah di Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu. Fasilitas perbatasan yang ada seperti CIQS, sudah cukup lengkap walaupun masih darurat, seperti kantor kantor bea cukai yang belum dilengkapi dengan alat detektor/scan bagi barang yang masuk dan keluar NTT, kantor imigrasi yang masih sangat sederhana, karantina hewan dan tumbuhan, serta pos keamanan yang juga masih sederhana. 
Prasarana pasar di perbatasan yang terletak di dekat pintu perbatasan rusak berat akibat perusakan oleh sekelompok orang dalam insiden yang terjadi pada tahun 2003, sehingga dipindahkan ke tempat lain dan saat ini masih dalam kondisi darurat, sedangkan sarana dan prasarana lain seperti sekolah dan pusat kesehatan masyarakat telah tersedia walau dalam kondisi yang belum baik. Fasilitas-fasilitas sosial yang telah ada dibangun oleh pemerintah pusat dan daerah untuk kebutuhan para pengungsi. Sarana dan prasarana perhubungan darat maupun laut ke pintu perbatasan Timor Leste cukup baik, sehingga akses kedua pihak untuk saling berkunjung relatif mudah dan cepat. Kondisi jalan dari Atambua, ibukota Belu, menuju pintu perbatasan cukup baik kualitasnya, sehingga perjalanan dapat ditempuh dalam waktu satu setengah jam.  Hal ini dapat dimengerti karena kedua daerah NTT dan Timor Leste sebelumnya merupakan dua Provinsi yang bertetangga, sedangkan hubungan udara telah dipenuhi oleh maskapai penerbangan Merpati yang memiliki penerbangan regular dari Bali ke Dili.
Kegiatan perdagangan lintas batas yang terjadi sebagian besar adalah  perdagangan kebutuhan alat-alat rumah tangga dan bahan makanan lainnya yang tersedia di kawasan perdagangan atau di Atambua, ibukota kabupaten Belu. Kegiatan lintas batas lainnya adalah kunjungan kekerabatan antar keluarga karena banyaknya masyarakat eks pengungsi Timor Leste yang masih tinggal di wilayah Atambua, sedangkan warga Indonesia lainnya yang berkunjung ke Timor Leste adalah dalam rangka melakukan kegiatan perdagangan bahan makanan dan komoditi lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat Timor Leste. Kegiatan lintas batas yang sering terjadi adalah lintas batas tradisional melalui jalan masuk yang dahulu pernah digunakan sebagai jalan biasa sewaktu Timor Leste masih menjadi salah satu Provinsi Indonesia, seperti yang ada di perbatasan antara Kabupaten TTU (Provinsi NTT) dan Oekussi (Timor Leste). Untuk memfasilitasi warganya di Oekussi mengunjungi wilayah Timor Leste lainnya, Pemerintah Timor Leste mengusulkan adanya ijin bagi warga Oekussi untuk menggunakan prasarana jalan dari Oekussi ke wilayah utama Timor Leste.  Namun usulan ini masih belum ditanggapi oleh pihak Republik Indonesia
Potensi sumberdaya alam yang tersedia di kawasan perbatasan NTT pada umumnya tidak terlalu besar, mengingat kondisi lahan di sepanjang perbatasan tergolong kurang baik bagi pengembangan pertanian, sedangkan hutan di sepanjang perbatasan bukan merupakan hutan produksi atau konversi serta hutan lindung atau taman nasional yang perlu dilindungi.
Kondisi masyarakat di sepanjang perbatasan umumnya miskin dengan tingkat kesejahteraan yang rendah dan tinggal di wilayah terisolir. Sumber mata pencaharian utama masyarakat di kawasan perbatasan adalah kegiatan pertanian lahan kering yang sangat tergantung pada hujan. Kondisi masyarakat di wilayah Indonesia ini saat ini pada umumnya bahkan masih relatif lebih baik dari masyarakat Timor Leste yang tinggal di sekitar perbatasan. Dengan demikian, kawasan perbatasan di NTT khususnya di lima kecamatan yang berbatasan langsung dengan Timor Leste maupun daerah NTT secara keseluruhan perlu diperhatikan secara khusus karena dikhawatirkan akan terjadi kesenjangan yang cukup tajam antara masyarakat NTT di perbatasan dengan masyarakat Timor Leste, khususnya penduduk Belu yang sebagian besar masih miskin.



4.      Perbatasan Indonesia-Singapura
Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan Singapura telah dilaksanakan mulai tahun 1973 yang menetapkan 6 titik koordinat sebagai batas kedua negara. Perjanjian tersebut kemudian diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1973.
Permasalahan yang muncul adalah belum adanya perjanjian batas laut teritorial bagian timur dan barat di Selat Singapura. Hal ini akan menimbulkan kerawanan, karena Singapura melakukan kegiatan reklamasi wilayah daratannya. Reklamasi tersebut mengakibatkan wilayah Si-ngapura bertambah ke selatan atau ke Wilayah Indonesia. Penentuan batas maritim di sebelah Barat dan Timur Selat Singapura memerlukan perjanjian tiga negara antara Indonesia, Singapura dan Malaysia. Perundingan perbatasan kedua negara pada Segmen Timur, terakhir dilaksanakan pada 8-9 Februari 2012 di Bali (perundingan ke-2).
Penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan Sinagpura, telah berlangsung sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu oleh akibat penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata pencaharian para nelayan.
Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di kemudian hari.


5.      Perbatasan Indonesia-Vietnam
Perbatasan Indonesia – Vietnam di Laut China Selatan telah dicapai kesepakatan, terutama batas landas kontinen pada tanggal 26 Juni 2002. Akan tetapi perjanjian perbatasan tersebut belum diratifikasi oleh Indonesia. Selanjutnya Indonesia dan Vietnam perlu membuat perjanjian perbatasan ZEE di Laut China Selatan. Perundingan perbatasan kedua negara terakhir dilaksanakan pada 25-28 Juli 2011 di Hanoi (perundingan ke-3).
Wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam yang berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki kontur landas kontinen tanpa batas benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman di antara ke dua negara. Pada saat ini kedua belah pihak sedang melanjutkan perundingan guna menentukan batas landas kontinen di kawasan tersebut.

6.      Perbatasan Indonesia-Philipina
Perundingan RI – Philipina sudah berlangsung 6 kali yang dilaksanakan secara bergantian setiap  3 – 4 bulan sekali. Dalam perundingan di Manado tahun 2004, Philipina sudah tidak mempermasalahkan lagi status Pulau Miangas, dan sepenuhnya mengakui sebagai milik Indonesia.
Hasil perundingan terakhir penentuan garis batas maritim Indonesia-Philipina dilakukan pada bulan Desember 2005 di Batam. Indonesia menggunakan metode
 proportionality dengan memperhitungkan lenght of coastline/ baseline kedua negara, sedangkan Philipina memakai metode median line. Untuk itu dalam perundingan yang akan datang kedua negara sepakat membentuk Technical Sub-Working Groupuntuk membicarakan secara teknis opsi-opsi yang akan diambil.
Belum adanya kesepakatan tentang batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, menjadi salah satu isu yang harus dicermati. Forum RI-Filipina yakni Joint Border Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang memiliki agenda sidang secara berkala, dapat dioptimalkan menjembatani permasalahan perbatasan kedua negara secara bilateral.

7.      Perbatasan Indonesia-Palau
Perbatasan Indonesia dengan Palau terletak di sebelah utara Papua. Palau telah menerbitkan peta yang menggambarkan rencana batas “Zona Perikanan/ZEE”  yang diduga melampaui batas yurisdiksi wilayah Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya nelayan Indonesia yang melanggar wilayah perikanan Palau. Permasalahan ini timbul karena jarak antara Palau dengan Wilayah Indonesia kurang dari 400 mil sehingga ada daerah yang overlapping untuk ZEE dan Landas Kontinen. Perundingan perbatasan kedua negara terakhir dilaksanakan pada 29 Februari - 1 Maret 2012 di Manila (perundingan ke-3).

8.      Perbatasan Indonesia-Australia
Perjanjian Batas Landas Kontinen antara Indonesia-Australia yang dibuat pada 9 Oktober 1972 tidak mencakup gap sepanjang 130 mil di selatan Timor Leste. Perbatasan Landas Kontinen dan ZEE yang lain, yaitu menyangkut Pulau Ashmore dan Cartier serta Pulau Christmas telah disepakati dan telah ditandatangani oleh kedua negara pada tanggal 14 Maret 1997, sehingga praktis tidak ada masalah lagi. Mengenai batas maritim antara Indonesia – Australia telah dicapai kesepakatan yang ditandatangani pada 1969, 1972 dan terakhir 1997.
Perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RI-Australia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan batas yang baru RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor perlu dibicarakan secara trilateral bersama Timor Leste

9.       Perbatasan Indonesia-Thailand
Indonesia dan Thailand telah mengadakan perjanjian landas kontinen di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971, perjanjian tersebut telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 21 Tahun 1972. Perjanjian perbatasan tersebut merupakan batas landas kontinen di Utara Selat Malaka dan Laut Andaman. Selain itu juga telah dilaksanakan perjanjian batas landas kontinen antara tiga negara yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia yang diadakan di Kuala Lumpur pada tanggal 21 Desember 1971. Perjanjian ini telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 20 Tahun 1972.
Perbatasan antara Indonesia dengan Thailand yang belum diselesaikan khususnya adalah perjanjian ZEE.
Ditinjau dari segi geografis, kemungkinan timbulnya masalah perbatasan antara RI dengan Thailand tidak begitu kompleks, karena jarak antara ujung pulau Sumatera dengan Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki perjanjian Landas Kontinen yang terletak di dua titik koordinat tertentu di kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut Andaman. Penangkapan ikan oleh nelayan Thailand yang mencapai wilayah perairan Indonesia, merupakan masalah keamanan di laut. Di samping itu, penangkapan ikan oleh nelayan asing merupakan masalah sosio-ekonomi karena keberadaan masyarakat pantai Indonesia.

10.  Perbatasan Indonesia-India
Indonesia dan India telah mengadakan perjanjian batas landas kontinen di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1974 dan telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 51 Tahun 1974 yang meliputi perbatasan antara Pulau Sumatera dengan Nicobar.
Selanjutnya dilakukan perjanjian perpanjangan batas landas kontinen di New Dehli pada tanggal 14 Januari 1977 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 26 Tahun 1977 yang meliputi Laut Andaman dan Samudera Hindia.
Perbatasan tiga negara, Indonesia-India- Thailand juga telah diselesaikan, terutama batas landas kontinen di daerah barat laut sekitar Pulau Nicobar dan Andaman. Perjanjian dilaksankaan di New Delhi pada tanggal 22 Juni 1978 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 25 Tahun 1978. Namun demikian kedua negara belum membuat perjanjian perbatasan ZEE.


sumber: 
http://batamtoday.com/berita47259-Batas-Perairan-Batam-dan-Bagian-Timur-Selat-Singapura-Sepanjang-5,1-Mil-Laut.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar